Dari TEMPO | Interaktif
Jum'at, 10 September 2004 | 20:29 WIB
TIM antiteror polisi sempat tercengang-cengang awal-tahun lalu. Ketika itu, Ali Imron, salah satu terdakwa perakit bom Bali yang lalu divonis hukuman penjara seumur hidup, diminta aparat mengidentifikasi bom yang meletup di Wisma Bhayangkara, Markas Besar Kepolisian RI, Jakarta. Sebentar saja Ali Imron mengamati sisa bom, adik Muchlas dan Amrozi ini (dua terpidana mati Bom Bali) langsung menyimpulkan bom itu bukan rakitan kelompoknya. "Lah, kalau ini sih buatan aparat. Modelnya sudah kuno," katanya seperti ditirukan seorang opsir polisi. Beberapa pekan kemudian, terbukti bom itu memang "hanya" rakitan seorang perwira pertama polisi yang frustrasi.
Dinilai paling kooperatif oleh para penyidik, Ali Imron pulalah yang membeberkan seluk-beluk bom yang meledakkan Kuta. Pada 11 Februari lalu, di depan wartawan, ia bahkan mengaku tersinggung karena ada banyak suara yang meragukan keahlian komplotan Tenggulun merangkai bom. "Kemampuan kami sebagai anak bangsa perlu dibanggakan," ujarnya.
Dari pengakuan Ali Imron, diketahui bom Bali terbuat dari 1.175 kilogram bahan peledak. Senjata maut itu dirakit sekitar dua minggu dan didesain dua ahli bom Jamaah Islamiyah, Dr. Azahari dan Dulmatin.
Ramuan Azahari diyakini sungguh hebat. Dari bahan-bahan kimia yang sederhana, murah, dan mudah dibeli di toko-toko kimia, ia mampu merakit bom dengan karakteristik yang sama dengan bahan peledak konvensional buatan pabrik. Menurut sumber TEMPO di Pusat Laboratorium Forensik Kepolisian RI, Azahari mampu merakit bom nonkonvensional dari berbagai bahan yang bahkan belum pernah diketahui aparat sebelumnya. "Kemampuan anggota tim Gegana Brimob dan Kopassus saja kalah," kata Kepala Desk Anti-Teror, Inspektur Jenderal Polisi Ansyaad Mbai.
Desain sirkuit pemicu ledakan yang dia ciptakan pun diakui kecanggihannya. "Dia mampu membuat sistem antigagal yang berangkai dan rumit," kata Zulkarnaen Yusuf, dosen Universitas Bhayangkara.
Bom yang meledak di Hotel JW Marriott pada 5 Agustus 2003 memiliki ciri yang hampir sama dengan bom Bali. Efek ledakannya memang tak sedahsyat bom di Sari Club. Tapi itu karena letupan bom Marriott sempat teredam oleh jebolnya lantai dasar gedung, sehingga mengurangi efek ledakan. Kalau saja bom laknat itu meledak tepat di muka lobi, Marriott diperkirakan bakal rata dengan tanah dan akan lebih bergenang darah ketimbang tragedi Kuta.
Menurut teori, bom high explosive buatan pabrik memiliki efek jauh lebih hebat. Tapi ternyata bom-bom rakitan di Bali dan di Marriott begitu luar biasa, melebihi kedahsyatan bom-bom konvensional.
"Kehebatan" bom Bali ini tak urung memicu spekulasi tentang adanya tangan lain yang ikut mengail di air keruh. Amrozi, misalnya, mengaku tak yakin bom yang menghancurleburkan Legian bersumber hanya dari bahan yang disiapkan kawanannya. Imam Samudra pun memperkirakan teror yang mereka rancang hanya akan menewaskan 5-10 orang.
Soal ini sempat menjadi perdebatan panjang di persidangan. Saksi ahli dari Laboratorium Forensik Polri Cabang Denpasar, Ir. Roedy Aris Tavip Puspito, mengatakan bahwa dari hasil pemeriksaan di lokasi ledakan, tempat kos terdakwa, serpihan mobil, dan tubuh korban, timnya menemukan residu HMX, tetril, nitrat, selain TNT dan RDX.
Keberadaan HMX, tetril, serta nitrat itu lalu dipertanyakan. Soalnya, bahan-bahan itu tak pernah muncul sebelumnya dalam penyidikan. Dalam berita acara pemeriksaan Ali Imron, hanya disebutkan bahwa selain potasium klorat, aluminium bubuk, dan belerang yang dibeli Amrozi, bahan bom Bali hanya terdiri atas TNT. Selebihnya tak ia sebut. Soal RDX baru dimunculkan Ali Imron belakangan.
Penjelasan Ali Imron juga seperti membalikkan pernyataan polisi tentang kehebatan dua master bom, Dulmatin dan Dr. Azahari. "Dr. Azhari justru boleh dibilang murid saya karena saya lebih dulu jadi mujahid di Afganistan," ujar Ali Imron.
Entahlah, siapa di antara kawanan itu yang paling jago merancang maut. Yang penting, sampai saat ini, kebanyakan dari mereka—Abdul Ghoni, Sawad, dan Umar, termasuk Dr. Azahari dan Dulmatin—masih berkeliaran di udara bebas.